Berita PaskomnasBawang Merah – Tidak Hanya – B

 

 

Setiap membicarakan bawang merah, pasti orang mulai dari pejabat sampai bakul eblekan selalu ingat Brebes. Atau sebaliknya, setiap membicarakan Brebes, pasti ingat bawang merah. Terlebih pada saat-saat menjelang bulan Ramadhan, hari raya atau hari besar nasional lain yang biasanya memicu naiknya komoditi pangan strategis termasuk bawang merah. Bersyukurlah masyarakat Brebes, walau sebenarnya daerah Brebes yang bisa bawang merah itu mungkin hanya sepertiga dari luas lahan yang memanjang dari pantai utara hingga ke selatan, di kecamatan Salem di perbatasan Cilacap. Dan tidak semua petani di daerah Pantura dari kabupaten terbarat di Jawa Tengah itu mampu menanam bawang merah karena berbagai faktor penyebab.

Tidak mengherankkan, karena produksi nasional bawang merah yang hampir satu juta ton/tahun itu, lebih dari 39,5% disumbang oleh Brebes sebagai pemasoknya. Setelah itu baru Jawa Timur sebagai pemasok terbesar kedua sebesar 23% yang terpusat di Nganjuk, Kediri, Bojonegoro, Probolinggo dan sedikit Bondowoso. Lalu disusul oleh Jawa Barat sebesar 12% yang terpusat di Kabupaten Cirebon, Kuningan, dan Majalengka, serta Bima – NTB 10,5%. Empat daerah itu menyumbang sekitar 85% kebutuhan bawang merah nasional. Daerah lain seperti Sulawesi Selatan, Sumatra Barat dan sedikit di aerah lain hanya menyumbang 15% pasokan nasional saja. Daerah itu meliputi Sumenep – Madura yang merupakan daerah awal penghasil bawang merah terbaik bersama Sigi – Palu, Wates – Kulonprogo yang produksinya hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan DIY, tak akan nampak di peta bawang merah, atau tak pernah disebut-sebut oleh pedagang di pasar induk atau pejabat di rapat-rapat. Semua tenggelam oleh kepopuleran Brebes “Brebes Centris”.

Apa daerah lain tanahnya tidak dapat ditanami bawang merah? Jawabnya BISA. Semua tanah Indonesia dapat ditanami bawang merah, mulai dari tepi pantai hingga di gunung. Tanaman bawang merah merupakan tanaman paling sederhana di antara tanaman lain di kelompok hortikultura. Bawang merah sering dijadikan salah satu bahan praktek “ilmu alam” atau “ilmu tumbuh-tumbuhan” bagi anak-anak SD jaman dulu hingga sekarang karena proses pertumbuhannya yang simpel dan cepat. Kalau anak SD itu selesai praktek, bahan itu kalau dibuang saja di tanah, akan tumbuh tanaman dan keluar umbinya. Begitu simpelnya bawang merah diciptakan Allah untuk manusia. Tetapi mengapa manusia Indonesia menjadi susah.

Kalau mau, ibu-ibu di kota yang masih punya sedikit halaman mau meletakkan HP-nya sebentar saja, lalu menaruh tanah yang diambil dari selokan ke dalam pot, lalu ditaruh umbi bawang merah, akan tumbuh bawang merah yang 60 hari kemudian dapat dipanen. Mau panen tiap hari tanpa putus sepanjang tahun..? Bisa. Para ibu rumah tangga dapat membuat 60 pot, dan selesai panen tanam lagi. Mudah kan..? Siapa yang bisa menggerakkan hal ini..? Agaknya perlu gebrakan dari pimpinan nasional kita. Bawang merah, hingga saat ini masih menjadi salah satu komoditi pangan strategis yang sering memicu inflasi bersama dengan cabe. Secara nasional, produksi bawang merah surplus lebih dari 200 ribu ton/tahun. Tetapi kenyataannya menjadi masalah setiap tahun.

Salah satu penyebabnya karena banyak orang termasuk para pejabat tinggi pertanian selalu memiliki persepsi yang sama dengan masyarakat pada umumnya, yaitu “Brebes Centris”. Akibatnya, seolah olah kebutuhan bawang merah nasional terbesar harus disuplai dari Brebes. Akibatnya harga bawang merah di konsumen yang jauh seperti Sumatra, Kalimantan menjadi tinggi. Padahal saat ini lahan dan petani bawang merah Brebes sedang mengalami masalah yang besar.

Dari pantauan langsung di daerah sentra bawang merah di kecamatan Losari, Tanjung, Kersana, Ketanggungan, Larangan, Songgom, Wanasari, Bulakamba, Jatibarang dan kecamatan Brebes sendiri, masalahnya memang mengejutkan. Pertama produktifitas bawang merah di lahan andalan Brebes merosot jauh dibanding dengan pada tahun 80-an. Simpelnya, dengan budidaya yang biasa dilakukan petani, satu bibit ditahun 80-an dapat diperoleh 10 – 15 siung atau anakan. Sehingga dari sekitar 1,5 ton bibit, dapat diperoleh lebih dari 15 - 18 ton bawang kering panen siap jual. Saat ini, dengan biaya yang sekitar Rp 90juta/ha, hanya diperoleh 4 – 5 anakan per bibit yang ditanam, atau hanya sekitar 6-9 ton/ha. Itu artinya saat ini BEP-nya sudah lebih dari Rp10.000,-/kg. H. Hadi dari Kersana mengatakan bahwa, saat musim hujan, produktifitas bawang merah dilahannya hanya sekitar 4 ton saja. Ini sangat berat bagi petani bawang, ungkapnya.

Dengan BEP bawang merah di tingkat petani yang begitu tinggi saat ini di Brebes, plus resiko yang besar dalam budidaya, para petani selalu berfikir bagaimana bisa menjual produk bawang merahnya diatas Rp15.000/kg kering panen siap jual. Karena itu, para ketua kelompok, ketua asosiasi hingga tokoh Brebes selalu “membela” petani agar harga bawang merah di pasaran pun kalau mencapai Rp30.000/kg tidak perlu resah lalu impor. Itu artinya, sebenarnya produk bawang merah petani Brebes sudah berada pada posisi yang lemah dalam kompetisi.

Menghadapi kenyataan itu, para petani besar dari Brebes mulai beberapa tahun lalu melakukan “hijrah budidaya” dari Brebes kearah barat seperti Majalengka, Kuningan, Subang dan sekitarnya. Sebagian lagi kearah timur didaerah Batang, Kendal, Demak dan sekitarnya. Pergeseran daerah budidaya Bawang merah itu memberikan pelajaran paling tidak dua hal. Pertama, dengan modal lebih hemat hingga 30% lebih rendah dibanding di Brebes, produktifitasnya bisa mencapai 15 ton/ha lebih, atau hampir dua kali lipat dari produktifitas di Brebes saat ini. Dengan begitu, BEP Bawang merah sekitar Ibukota provinsi Jawa Tengah itu jauh lebih rendah dibanding Brebes. Kedua, membukakan mata para petani setempat yang awalnya menjadi buruh dan penonton, sekarang banyak yang mulai melakukan budidaya sendiri. Daerah pengembangan baru sepeti Grobogan hingga Pati di Jawa Tengah yang biasanya hanya tanam padi dan palawija, saat ini mereka sudah akrab dengan Bawang merah saat musim kemarau. Namun seiring berjalannya waktu, saat musim penghujan di Brebes penanaman Bawang merah berkurang, petani Pati dan sekitar yang daya kerjanya lebih hebat, saat ini mulai menanam bawang merah tanah tegalan saat musim penghujan. Ini memberi gambaran bahwa bawang merah bisa tumbuh produktif dimana-mana. Jadi tidak harus “Brebes Centris”.

Bukan hanya itu, kalau kita bergeser ke pulau Sulawesi, terutama Sulawesi Utara sekitar Danau Tondano, tentu pada kaget semua. Di Minahasa dan Minahasa Selatan, budidaya bawang merah yang dimulai sejak hijrahnya pasukan Kyai Mojo yang dibuang Belanda kesana, saat ini berkembang pesat. Karena Kyai Mojo asalnya dari Magelang, maka pasukannya yang kebanyakan orang Magelang dalam pengasingannya tidak lupa “ngantongi” bibit bawang merah. Lalu setelah sampai Minahasa Tondano, mereka membudidayakannya. Bawang merah berkembang sejalan dengan akulturasi budaya dan asimilasinya masyarakat Tondano & Jawa – Magelang, sehingga perkampungannya populer disebut Jaton (Jawa Tondano), tetapi bawang merahnya oleh masyarakat Jaton tetap disebut “bawang merah magelang”. Menjadi aneh, karena bawang merah magelang yang warnanya merah menyala itu justru baik ditanam dimusim penghujan, hingga produktifitasnya bisa lebih dari 20 ton/ha. Dimusim kemarau, paling hanya sekitar 15 ton/ha. Dengan biaya yang hanya sekitar Rp45juta/ha, BEP-nya tidak lebih dari Rp3.000/kg. Jadi, kenapa harus “Brebes Centris”..?

Penyebab utama merosotnya produktifitas lahan bawang merah di Brebes, secara teknis adalah karena tanah sudah jenuh. Sejak adanya pupuk kimia yang marak mulai awal tahun 70an, petani Brebes hanya mengandalkan pupuk kimia. Itu karena praktis diangkut pada lahan hamparan yang luasnya ratusan hektar tanpa jalan usaha tani yang memadai itu. Awalnya dosis pupuk kimia normal saja, paling untk tiga jenis pupuk N P dan K hanya sekitar 300 kg/ha. Tapi sekarang dosis pupuk kimia untuk bawang merah di Brebes sudah lebih dari 1.500 kg/ha. Akibatnya, tanah menjadi keras akibat akumulasi “carrier” pupuk kimia yang tertinggal di lahan dan menumpuk puluhan tahun, sehingga struktur tanahnya menjadi masif. Perakaraan tanaman bawang merah menjadi pendek, daya tangkap terhadap pupuk tidak optimal. Anjuran atau perintah apapun untuk memperbaiki tanahnya dengan menggunakan pupuk organik agar struktur tanah menjadi longgar selalu mental. Penyebabnya karena pupuk organiknya juga susah diperoleh. Lalu karena dosisnya anjurannya yang lebih dari 10 ton/ha, petani selalu beralasan ongkosnya mahal dan lama dalam mempersiapkan lahan. Alasan lain adalah mengejar waktu. Banyak petani bawang merah di Brebes mengusahakan tanaman berumbi itu pada lahan sewa. Karena sewa yang mahal dan waktunya hanya seumur bawang merah yang maksimal 60 + 30 hari, petani tidak mau bersusah-payah “memperbaiki lahan” dengan pupuk organik. Itu “mbejakke” (menguntungkan) yang punya tanah, kata mereka. Itu karena setelah pertanaman bawang merah yang menggunakan pupuk organik dipanen, tanah berikutnya menjadi subur dan penggunaan pupuk berikutnya menjadi lebih rendah.

Penyebab lain dari produktifitas bawang merah yang rendah antara lain karena teknik penyiraman memakai gembor tiap hari. Bawang merah memang berakar serabut pendek, hanya sekitar 20 cm. Tanaman ini memang tidak boleh kekurangan air, tetapi pemberian air yang baik tidak boleh menimbulkan efek pencucian (leaching) dari pupuk yang diberikan. Sudah sejak lama petani bawang merah brebes menyiram tanamannya dengan “gembor” untuk mengambil air dari selokan diantara bedengan. Karena penyiraman itu volume tinggi, air lalu membanjiri bedengan dan terus meresap ke dalam tanah dengan cepat. Peresapan cepat kebawah itulah yang membawa pupuk yang ada di lapisan perakaran, menjauh dari wilayah perakaran sehingga tidak dapat dijangkau akar secara keseluruhan. Jadi hanya sedikit pupuk yang mampu ditangkap oleh akar. Akar bawang merah yang pendek karena struktur tanah yang masif, diperparah dengan proses pencucian hara, menjadikan pupuk dosis tinggi tidak efektif pada pertanaman. Kalau itu ditambah dengan tinjauan, bahwa keasaman tanah (pH) juga rendah, mengakibatkan unsur phosphat terjerap oleh Fe & Al, tanaman tidak dapat menyerap unsur P pembentuk utama perakaran, kasusnya menjadi komplek.

Dua masalah tenis yang berat itu solusinya adalah: 

(1). Revolusi kawasan. Dengan membangun jalan usaha tani yang mampu menjangkau keseluruh lahan masing-masing petani. Dengan begitu, pupuk organik dapat dengan mudah diangkut dengan alat mesin/non mesin. Lahan memang berkurang, tetapi tanah menjadi subur, produktifitas naik, biaya produksi turun untung petani akan lebih banyak. 

(2). Penyediaan pupuk organik yang baik dan murah. Sebaiknya bisa diproduksi oleh petani sendiri. 

(3). Sebelum ditanami bawang merah, lahan ditanami kacang-kacangan (leguminosae). Bisa kedelai panen muda (edamame), atau orok-orok (Crotalaria sp) yang dirombak umur 30 hari. Ini mungkin sulit karena makan waktu. 

(4). Mengganti irigasi model gembor dengan sprinkle. Irigasi sprinkle tidak akan menimbulkan pencucian hara (leaching) dengan cara membatasi waktu semprotnya. Waktu semprot sprinkle sore hingga malam hari, sehingga air yang membasahi tanah tidak akan menguap (evaporasi) karena sinar matahari. Dengan model sprinkle ini, daerah lain tidak perlu risau karena tanah tegalan, atau sawah yang kadar lempungnya kurang, tetap dapat menanam bawang merah dengan hasil yang baik. Di Sigi – Palu, sebagai penghasil bawang merah dengan mutu terbaik di Indonesia, pertanaman bawang merah dilaksanakan ditegalan dengan irigasi sprinkle.

Di Enrekang Sulsel, produksi bawang merah mencapai 20 ton/ha, begitu pula di Aceh. Lampung Tengah, Lampung selatan, Sumatra Barat hingga Bengkulu, semua bisa. Belum lagi Papua, dan kepulauan di provinsi Maluku dan Maluku Utara, semua bisa ditanam bawang merah. Kalau tidak percaya, serahkan bibit bawang merah ke petani di Pulau Buru. Banten, yang selama ini hanya dikenal dengan besi-bajanya, sawahnya banyak nganggur di musim kemarau. Banten selatan, banyak tegalan yang juga potensial bawang merah juga belum tersentuh. Padahal, kawasan Banten ini bisa menjadi penyangga Jakarta dan sekitar. Jadi soal bawang merah jangan “Brebes Centris”.
Selain masalah teknis, ada masalah sosial yang berat, antara lain munculnya kekuatan-kekuatan individual pemain bawang merah di Brebes yang bisa dan biasa memainkan peran di per-bawang merah-an nasional. Pemain individual atau kelompok mereka suka mengatasnamakan dirinya sebagai wakil petani Brebes. Padahal yang lebih tepat mereka adalah “mencengkeram” petani. Yang lebih memprihatinkan lagi, kadang-kadang pejabat pemerintah yang kurang begitu menguasai masalah bawang merah, atau tidak mau bersusah payah, suka dekat dengan pemain individual itu. Mungkin karena lebih mudah. Di rapat-rapat nasional tentang bawang merah pengusaha individual itu sering muncul dengan bendera organisasi petani, tetapi di lapangan petani tidak merasa berada di belakang bendera itu. Sementara membangun lembaga petani bawang merah yang benar, juga lembaga petani apapun, saat ini sudah sangat susah. 


Selain pengusaha besar, di Brebes juga muncul pemain/pedagang kecil yang individual tetapi juga mencengkeram petani-petani disekitarnya. Pedagang kecil itu kekuatannya hanya sekitar 1 – 2 truk/hari (5 – 10 ton), tapi jumlahnya banyak. Sebelum tahun 2000, para petani punya hubungan “mesra” dengan para pedagang kecil ini. Artinya, secara alami setiap pedagang kecil punya anggota petani produsen bayangan. Tidak formal, tetapi terikat secara moral-sosial. Ikatannya sering berupa pinjaman sarana produksi, lalu setelah panen produknya dibawa kepedagang kecil itu. Pedagang kecil lalu membawa produk itu ke pedagang besar di Brebes atau ke kota besar lain. Pembayaran lancar antar mereka. Tetapi sejak tahun 2000, bersamaan dengan “reformasi” itu, musibah sosial terjadi. Pedagang besar mulai ingkar tidak membayar penuh ke pedagang kecil. Dampaknya, pedagang kecil juga tidak membayar penuh ke petani. Rasa saling tidak percaya mulai muncul, sehingga mulailah tipu-menipu di antara mereka. Bukan hanya tipu-menipu soal jual-beli tapi juga soal teknis, misal soal mutu yang dipalsu. Sekarang, petani hanya akan percaya kalau pedagang kecil membeli kontan/cash semua bawang merah yang dipunya. Karena pedagang kecil suka ditipu pedagang besar, pedagang kecil itu lalu ganti menipu petani, antara lain dengan harga yang ditekan rendah. Dipetani, “tipuannya” soal teknis, diantaranya dengan memupuk tanaman bawang merahnya dengan pupuk N tinggi pada saat tanaman umur 50an hari. Tanaman akan terpacu tumbuh vegetatif dan menyerap air lebih banyak, sehingga bobot bawang basahnya tinggi. Tetapi bawang merah begitu-an tidak tahan disimpan lama. Bahkan dalam hitungan hari susutnya sangat besar.

Cerita itu berasal dari mantan “pemain” senior bawang merah yang sudah 40an tahun bergelut di usaha itu sebagai pedagang kecil. Namun sekarang dia berhenti dan tidak tahan dengan tipu-menipu itu.

Soekam parwadi
Direktur Pengembangan Agribisnis Paskomnas Indonesia
Anggota Komite Tetap Bidang Hortikultura Kadin Pusat

 


Berita PaskomnasBerita Terkait